I
Malam, dan hujan.
perasaan ku berantakan. Melihatnya siang tadi jadi begini. aku sedang persiapkan
segalanya untuk berangkat. Sin Chuan yang pertama. Habis itu tak perduli mau
kemana. Pesawat ini sudah selayaknya sahabat curhat bagiku. Bos menyuruhku ganti
pesawat yang lebih bagus, aku tak sudi. Ada saja alasan yang disemburkan:
kemudinya lah, sayapnya lah, bunyi mesinnya lah. Lalu aku bilang:
"Pesawat itu sudah jadi sebelah kakiku, aku kaki kanannya dan dia kaki kirinya!"
Bos diam. balik kanan bubar, jalan. Kini dia pasti tau siapa aku.
Sebelum terbang
aku tak mau ada masalah. maka ku cek semua peralatan yang ada. Bahan bakar oke,
navigasi baik, mesin sempurna, tapi kemana co-pilot ku sudah mau berangkat
belum muncul. Pesawat ini jenis pesawat besar. Perlu dua orang pilot untuk
membuatnya terbang.
"Sudah datang rupanya" suara tiba-tiba mengagetkanku.
"Darimana saja
kau Evan?"
"Aku dari kabin penumpang. Seperti biaasaaa,
" dan dia tertawa.
Tak berapa lama kami sudah berada dalam situasi yang menegangkan.
Telah beribu kali menerbangkan pesawat lepas sekolah penerbangan dulu,
tetap saja rasa gugup itu ada. Hanya doa dan pesan penyemangat dari ibuku lah
yang membuatku tetap berfikiran yakin dan terus percaya diri. Aku teringat
tayangan di televisi tentang ketangguhan pilot pesawat tempur Amerika, atau
Rusia, terbang membawa pesawat penuh amunisi beribu-ribu mil jauhnya.
Satu yang membuatku lebih terkesan, kadang pesawat tempur itu
mengisi bahan bakar di udara! Coba bayangkan itu! Sambil terbang di
udara!
"Hai kau tak apa-apa, Martinus? " Aku terkejut. Kiranya melamun.
"Ya aku tak apa, Van, " aku harus konsentrasi
lagi
Menara pengawas sudah memanggilku. Artinya aku dan Evan sudah
harus masuk landasan pacu. Mesin kunyalakan, suplai bahan bakar tersambung,
pesawat menggelinding pelan hingga titik pacu. Setelah pesawat berputar
kecepatan kutambah terus, terus dan terus sampai kecepatan minimal untuk
pesawat naik dengan aman. Evan menunggu.
"Naik! " seketika tanganku dan tangan Evan
mendorong tuas naik bersamaan, berbarengan dengan itu hidung pesawat
terangkat. Tapi tiba-tiba aku merasa pusing yang sangat dan dan mataku semakin
samar melihat, dan semakin gelap dan gelap sekali.
"Martinus, kau tak apa-apa? " aku tak menjawab.
"Martinus? Martinus! Martinuus! !"
* * *
Dimana ini? Mengapa aku ada disini? Kemana semua orang?
Langit diluar gelap. Sudah malam. Tubuhku lemas sekali, sampai harus meraih
besi teralis. Sekelilingku temaram. Hanya sinar lampu dari luar gedung ini, menerobos
melalui celah jendela. Saat seperti demikian ini harus menemukan seseorang.
Tapi pertanyaanku belum terjawab, mengapa aku disini? Bagaimana bisa aku...
aku.. akuu?? Ya, siapa aku? Tunggu dulu, aku harus mengingat-ingat dulu.
Mungkin harus menenangkan diri dulu disana, di ujung selasar sana, ada kursi
panjang kulihat, samar-samar.
Seingatku adalah... Anak bangsawan? Ah, bukan. Dokter? Ah bisa
jadi, lihat saja sekeliling ruangan ini, sejak kecil aku mafhum ruangan seperti
ini. Ada brankar, bau obat-obatan yang membuat mual, pintu putih dengan nomor
pada pintunya, segala benda disekitar yang serba putih! Ini pasti rumah sakit,
dan aku dokternya! Tapi aku ragu, pakaian yang kukenakan seperti ini. Jelas
bukan pakaian dokter. Pengetahuanku? Coba baca tulisan di dinding itu: HARAP
TENANG. Yang teringat malah nama seorang tokoh novel BERAHIM HARAP TENANG. Apa
yang bisa menjelaskan mengenai siapa aku sebenarnya? Tak adakah petunjuk
disekitar? Dalam gedung yang kosong melompong ini? Harus keluar dulu dari tempat
ini, tapi untuk bangkit saja sulit.
Uggh..! Dengan kepala yg sakit seperti ini tak bisa berfikir lebih
banyak. Aku agak haus, butuh air. Semoga saja dapat menemukan air di salah satu
ruangan di gedung ini. Tapi aku butuh pertolongan. Pada siapa aku bisa meminta
tolong?
{} {} {}
Sebuah mobil colt L300 berhenti
didepan bangunan perkantoran. Sang supir dan dua orang temannya turun dari
mobil itu, dua temannya membuka pintu belakang sambil dihampiri dua orang
penjaga pintu depan. Mereka menggelandang paksa empat orang wanita dari dalam
mobil colt dan menarik mereka masuk ke dalam gedung, sementara sang supir
melapor pada bos. Wanita yang digelandang meronta-ronta melawan empat berandal
itu, tapi kalah kekuatan.
Mereka dimasukkan ke suatu ruangan
yang tertutup dan pengap, berlantai karpet dan dibagian depan ruangan itu
didesain lebih tinggi dua undak tangga seperti ruang sidang. Didalamnya sudah
ada berpuluh wanita yang berusia rata-rata hampir seusia mereka. Mereka
dilemparkan ke dalam sambil disuguhi teriakan empat pria penggelandang itu.
Pintu pun segera dikunci.
Wanita yang baru saja dilempar ke
dalam kembali meronta dan memaksa menarik-narik pintu sekuat tenaga, berharap
pintu akan jebol, tapi tetap tak bergeming. Mereka yang sudah didalam hanya
melihati wanita itu, seolah memberi kesan: percuma kau kuras tenagamu macam
itu. Pintu itu takkan terbuka!
Tiga wanita lainnya hanya menangis
sesenggukan, lemas tak berdaya. Meratapi nasib diperlakukan seperti ini. Mereka
tak tahu apa salah mereka dan mungkin salah orang tua mereka sehingga mereka
lah yang menanggung akibatnya.
Seorang dari wanita yang sudah
masuk sebelumnya menghampiri ketiga wanita itu, berusaha menenangkannya. Yang
lainnya menggotong wanita yang telah jatuh pingsan kehabisan tenaga berusaha mendobrak
pintu.
"Ayo angkat.. Awas pelan-pelan. Rebahkan di pinggir
sana," perintah Asmin.
"Minyak anginku sudah habis. Bagaimana
menyadarkannya?" tanya Lani.
"Kipasi saja dan jangan mengerubungi dia. Biarkan dia
menghirup oksigen lebih leluasa,
"Baik. Yang lain minggir!"
Itu hanya
sekelumit kejadian yang berulang ulang kali terjadi akhir akhir ini. Selalu
diawali dengan datangnya sebuah Colt L300, digelandang beberapa orang dari
dalam mobil, penjaga penjaga bertubuh kekar, selalu menampilkan otot otot dada
yang bertimbulan karena kaus yang ketat, dan berakhir dengan makian jerit
sumpah serapah, kadang dengan raungan tangisan meratap ratap. Namun sekali
lagi, itu hanya segelintir respon dari orang orang yang berada didalam sana,
nun pengap hampir tiada dapat udara keluar masuk dengan bebas, apalagi orang
orang yang ditahan
Sebagian
yang lain hanya diam. Pasrah. Merasa dengan berdoa saja cukup untuk dapat
membuat mereka dapat melarikan diri dari tempat yang lebih pantas mereka sebut penjara.
Bahkan saking penuhnya lebih pantas lagi disebut kandang babi. Didalamnya orang
orang yang diculik itu bergelimpangan beradu badan, sesak. Menanti nantikan
pertolongan segera datang: satu pasukan penuh bersenjatakan lengkap, senapan
serbu otomatis, seragam loreng loreng mengerikan, sepatu boot tinggi hingga ke
betis, badan badan tegap atletis, wajah yang coreng moreng. Menyerbu dengan
gagah berani. Tangan kanan memegang senapan dan tangan kiri siap menarik
granat. Atau jika sewaktu waktu diperlukan, mencabut pisau komando, tajam di
bawah, di atas bergerigi. Di belakang mereka panser panser siap melindungi.
Dengan satu kode, panser menembak, dan DUAARR!!. Rata dengan tanah. Tapi ini
hanya baru sekedar mimpi bagi sebagian lain orang orang itu.
Di dalam
situ, di tempat perempuan perempuan itu disekap, telah ditunjuk seseorang untuk
memimpin mereka. Penunjukan sederhana tanpa gaya formalitas. Dialah Asmin.
“Pehh! Ada
lagi!? Sebenarnya untuk apa kita diculik!? Kenapa makin bertambah?” Asmin duduk
di atas meja. Lani mengekor berdiri di sebelahnya.
“Ini ku
katakan, untuk mengingatkan kita semua lagi. Sekaligus karna ada orang baru,”
Seluruh pasang mata memusatkan
pandangan hanya pada Asmin. Mereka tak mau bersuara. Lani hanya cengengesan.
“Kita korek maunya apa, setiap penjaga
mengantar makan. Tak pernah dijawab!” Lani mengangguk.
“Sudah kutanya alasan mengapa kita
ditangkap, bilangnya selalu, nanti, bos kami akan datang. Tak jelas! Sudah dua
bulan kita mendekam disini!” Lani kembali manggut manggut seperti ayam hilang
keseimbangan di dahan pohon.
Lalu, “Apakah kita harus mendekam
hingga mati perlahan lahan disini!?” Taka ada yang menjawab. Hanya Lani yang
mengganti gerakan dari manggut manggut ke geleng geleng.
Satu dari empat orang yang baru
tadi masuk penyekapan memberanikan diri bicara, melihat dari perawakan Asmin
yang seorang perempuan, namun tampillannya diatas perempuan rata rata, dia agak
paham mengapa yang lain tak berani bicara. Meski ia takut dibilang sok tahu.
“Apa sudah pernah melakukan sesuatu
untuk melarikan diri beramai ramai dari sini, kak?” Tanya perempuan satu itu.
“Sudah beberapa kali. Tak terhitung
jumlahnya. Tak ku hitung pula. Siapa nama kau?”
“Aku Lubis. Aku dari Jakarta, dan
aku juga bisa beladiri,”
“Beladiri? Benarkah?”
“Ya,”
Asmin bangkit dari meja, mendekati
Lubis, memperhatikan dari atas ke bawah. Lubis yang tadi duduk, segera berdiri
menyadari dirinya dinilai mentah mentah sosok didepannya.
“Ya. Kita lihat saja nanti. Apakah
kau bisa menghajar orang orang ini,” ketus, menjatuhkan, dan taka da sedikitpun
menghargai. Lubis tak membalas dan Asmin kembali ke singgasana tak resmi-nya.
“Lubiiis, asal kau tahu. Telah
berjibaku kami untuk keluar, dengan tenaga maupun fikiran, gagasan. Tak ada
satu pun yang mempan. Aku bicara begini bukan untuk menghalangimu. Kalau kau
ingin mencoba, silahkan saja,” Lani di sebelah Asmin mengaminkan.
Lani memotong, “sudah, sudah. Kita
istirahat lagi. Tak ada lagi yang bisa kita kerjakan sekarang. Ayo, ayo,”
Lubis mengernyit. Banyak hal yang
ingin ia ketahui dari orang orang disini. Mengapa mereka dan dirinya sendiri
mengalami nasib serupa. Dipegangi, dibuat pingsan, dan dikurung ditempat pengap
begini. Mereka yang sudah lebih dulu masuk, tak ada rasa menggebu gebu ingin
lari. Tenang tenang saja. Bermain main dengan sisa sisa angin, tidur
terlentang, mati akal.
Lubis masih ingat ketika masa SMP,
ia dan teman temannya berlatih beladiri di lapangan sekolah. Siang bolong panas
sangat terik, tak ada yang menaungi mereka selain pohon ceri tua yang sudah tak
berbuah. Itu pun tidak cukup untuk melawan bulatnya matahari tepat di atas
kepala. Berbagai pukulan dan tendangan, silih berganti, bermacam macam jurus,
menahan konblok terbakar tanpa alas kaki sehingga dengan mudahnya kaki melepuh.
Badan diikatkan pemberat dari dua botol 1 liter berisi penuh air, berlari
memutari lapangan lima puluh kali seperti orang gila, menghancurkan tumpukan
bata, kesemuanya itu membuat Lubis semakin yakin dapat melawan cecunguk
penculik yang menyekapnya. Andai saja dia tak dibikin pingsan saat diculik,
kejadiannya tak akan begini.
* * *
Sejak kecil, Martinus dibesarkan
dalam keluarga yang sederhana. Tinggal di rumah kontrakan sepetak bersama ibu
dan adiknya. Ayahnya telah meninggalkan keluarga kecil itu pada saat Martinus
baru berumur 6 tahun karena kecelakaan di pabrik tempat ayahnya bekerja.
Semenjak saat itu ibu Martinus yang bekerja sebagai tukang cuci, melebarkan
tangannya dengan bekerja tambahan sebagai kuli bangunan. Pekerjaan yang amat
sangat jarang ditemui dikerjakan oleh perempuan.
Jika hari itu Martinus sekolah, maka
ibunya akan mengantarkan Martinus sampai depan gerbang sekolah. Hal itu biasa
dilakukan sebelumnya oleh mendiang ayahnya. Ritual sederhana yang tak
ditinggalkan anak beranak itu, terus dilakukan hingga Martinus kelas 4 SD.
Sebelum memasuki area pekarangan sekolah, Martinus menyambut punggung tangan
ibunya dengan ciuman bibir mungilnya. Lalu ibunya mengelus elus kepala
Martinus, dan ia segera berlari memasuki pekarangan. Tanpa diketahui ibunya,
Martinus selalu berhenti setelah berlari beberapa langkah, dan berbalik. Ia
dapati punggung ibunya berjalan menjauhinya sambil menggendong adiknya.
Ia tahu pasti kemana ibunya akan
pergi. Pulang kerumah dan menghadapi gunungan cucian kotor dari tetangga yang
memakai jasanya, lalu siang harinya bekerja kuli. Ibunya menitipkan adiknya
pada tetangga kiri rumah, karena berbahaya mengajak anak kecil. Martinus kecil
menarik nafas panjang dan diam diam mengepalkan tangan. Ia menyimpan janji
dalam hati akan melakukan yang terbaik untuk ibu dan adiknya.
Begitu bel sekolah berbunyi pertanda
istirahat, Martinus tak pernah langsung bangkit dari kursinya. Ia kembali
membaca apa yang baru saja dipelajarinya. Selesai membaca ulang, jika anak anak
lain berlarian kesana kemari atau membeli jajanan di kantin, Martinus hanya
duduk dibawah pohon yang rindang. Ia mengamati apa saja yang bisa diamatinya. Kadang
ia mengamati akar pohon, kadang mengamati anak lain bermain bola, kadang
mengamati ibu penjaga kantin, kadang ia mengamati tanah yang dulu pernah
dilubangi penjaga sekolah untuk membuang isi perut dai kambing yang dipotong
pihak sekolah saat perayaan Qurban. Martinus berfikir, kemana cairan hijau dari
kambing itu berakhir? Suatu pemikiran yang jarang ditemui pada anak lain,
bukan?
Untuk urusan teman, Martinus
tergolong anak yang sulit bergaul. Ia agak pemalu, dan sedikit sekali anak anak
yang mengajaknya bermain. Jika diajak bermain, ia sering menghindar. Jika tak
diajak, ia serasa ingin ikut bermain. Karena itu pula salah satu alasan
Martinus lebih sering menghabiskan waktu istirahatnya di bawah pohon sendirian,
mencoba berulang kali mencari objek observasi yang baru dan menarik.
Di seberang lapangan, lurus saja ke depan tempat Martinus biasa bergurau
dengan waktu, terdapat pula pohon duku yang sangat besar dan lebat daunnya,
namun masa berbuahnya telah lewat jauh sekali, sehingga dapat dipastikan pohon
itu takkan berbuah lagi. Daun daunnya membelai atap genteng coklat gedung
sekolah, merimbunkan tepiannya dengan daun gugur. Ketika angin cukup kencang
daun daun itu akan berjatuhan ke bawah pohon, sebagian mendarat di koridor.
Merepotkan penjaga sekolah sore hari.
Dibalik batang pohon duku itu,
seorang anak perempuan beraksi. Mengintai dari kajauhan seperti Elang siap
menangkap mangsa. Mengendap endap seperti maling. Mengintip diantara palang
palang besi. Memperhatikan sosok kurus yang duduk membatu di seberang lapangan.
Dalam diam ia cengengesan. Matanya tak berkedip sama sekali. Semut pohon
berwarna merah yang jika menggigit dapat membuat orang menggigil mendadak tak terasa lagi olehnya.
Konon banyak orang yang apabila diperhatikan
secara ekstrim, entah darimana asalnya, akan menghasilkan sengatan tak terlihat
yang diterima oleh otak, dan saraf menerimanya sebagai perintah untuk menggerakkan
leher kea rah datangnya sengatan. Martinus mengalami gejala itu dan didapatinya
anak perempuan di seberang lapangan berdiri membatu dibalik pohon, melotot
kearahnya sambil melongo tak karuan. Wajahnya tegang, bola matanya seperti
ingin meloncat. Martinus terkejut.
Anak pengintai itu, lebih terkejut
lagi menyadari aksi menginyainya ketahuan oleh target. Mata bertemu mata, anak
itu terperangah sebentar, lalu membanting punggung ke batang pohon. Wajah
pucatnya mendadak merah menahan tawa. Lalu ia mengambil tumpuan pasti kaki
kanan, melesat masuk ke dalam kelas. Pengintaian hari itu berakhir. Bel
berbunyi dan Martinus kembali ke dalam kelas. Anak pengintai tersenyum simpul.
* * *
Barisan semut semut hitam
beriringan berkelok kelok meniti tepian selokan. Sebagian jalur ekspedisi
mereka terkena basahan dari tukang penjual bakso yang membuang air bekas cucian
bercampur sisa makanan. Dalam beberapa jam kemudian sisa sisa makanan akan
dikerubungi semut semut, berebut makan dengan kucing, ayam, dan anjing.
Menciptakan keributan kecil di siang hari yang tenang. Panas yang menjerang,
sebab hujan tak turun sejak beberapa bulan yang lalu, membuat siapapun gerah
dengan keadaan dan membuat orang lebih memilih tidur siang ditemani kipas
angin, dengan putaran baling baling yang paling kencang. Atau orang orang yang
bekerja di kantor mengurangi suhu pendingin ruangan.
Awan tak selembar pun menghalangi
cahaya matahari menusuk bumi. Jalanan beruap, pepohonan kering semakin layu,
debu beterbangan menyesak paru paru, kadang tersasar pada bola mata. Tukang
ojek yang sedang ngebut pontang panting menyambut calon penumpang di Pasar Pagi
menabrak gerobak tukang gorengan di pinggir jalan. Tua muda, pria wanita,
dewasa remaja, berhamburan keluar. Ingin tahu apa yang terjadi.
Rifat yang tengah memeluk mimpi di
beranda rumahnya sontak meloncat. Diusap usap kedua matanya. Menoleh ia kiri
dan kanan. Dilongokkan kepalanya ke arah kerumunan orang. Tangan kanannya
memegang segelas the tawar.
“Ada apa itu, bang Asrul??”
Bang Asrul, tengah melayani pembeli
menyahut “Ada motor menabrak gerobak. Sepertinya karena mengantuk,”
“Tak mau lihat kesana, bang?”
“Kau lihat sendiri lah. Pelanggan
ku sudah antri. Nanti mereka kabuur. Rugilah aku!”
Rifat cengar cengir. Kembali dilemparkannya
pandangan ke tempat kejadian perkara. Pemotor yang sedang sial, pikirnya. Rifat
kembali duduk di kursi panjang dan mengambil Koran. Dibolak baliknya halaman
per halaman, sampai matanya tertuju pada sebuah tulisan: SAYEMBARA!! SIAPA BISA
MENGALAHKAN MR. DAUD, SANG MASTER GULAT, MENDAPATKAN HADIAH SEBESAR 10 JUTA
RUPIAH, DITAMBAH PAKET JALAN JALAN KE BOLI. DAFTARKAN DIRI ANDA SEGERA KE
GELANGGANG OLAHRAGA DI KOTA ANDA!!
Rifat membanting Koran dan menyerbu
masuk ke dalam rumah. Disambarnya pakaian dan dinyalakannya mesin motor butut
peninggalan ayahnya. Secepat kilat Rifat melesat pontang panting menuju
gelanggang. Lampu lalu lintas tak diindahkannya. Polisi yang berjaga menyemprit
dengan bernafsu dan mengejar Rifat. Rifat tahu ia sedang dalam masalah.
Dibelokkan motornya masuk ke dalam gang sempit. Ia ingat ada rumah sahabatnya
yang bisa ia singgahi sebagai tempat bersembunyi. Sekejap saja, polisi lalu
lintas telah kehilangan jejaknya.
https://www.facebook.com/zakiahnurmala.berahimmatarum/likes
ReplyDelete