driver UBER, penulis novel, penjual susu dan yakult {tapi jarang minum susu}, dan es batu di bulan puasa

Sunday, 19 January 2014

Belum Ada Judul bagian 1

I

Malam, dan hujan. perasaan ku berantakan. Melihatnya siang tadi jadi begini. aku sedang persiapkan segalanya untuk berangkat. Sin Chuan yang pertama. Habis itu tak perduli mau kemana. Pesawat ini sudah selayaknya sahabat curhat bagiku. Bos menyuruhku ganti pesawat yang lebih bagus, aku tak sudi. Ada saja alasan yang disemburkan: kemudinya lah, sayapnya lah, bunyi mesinnya lah. Lalu aku bilang: 

"Pesawat itu sudah jadi sebelah kakiku, aku kaki kanannya dan dia kaki kirinya!"

 Bos diam. balik kanan bubar, jalan. Kini dia pasti tau siapa aku.

Sebelum terbang aku tak mau ada masalah. maka ku cek semua peralatan yang ada. Bahan bakar oke, navigasi baik, mesin sempurna, tapi kemana co-pilot ku sudah mau berangkat belum muncul. Pesawat ini jenis pesawat besar. Perlu dua orang pilot untuk membuatnya terbang.

"Sudah datang rupanya" suara tiba-tiba mengagetkanku.
"Darimana saja kau Evan?"
"Aku dari kabin penumpang.  Seperti biaasaaa, " dan dia tertawa.

Tak berapa lama kami sudah berada dalam situasi yang menegangkan.  Telah beribu kali menerbangkan pesawat lepas sekolah penerbangan dulu, tetap saja rasa gugup itu ada. Hanya doa dan pesan penyemangat dari ibuku lah yang membuatku tetap berfikiran yakin dan terus percaya diri. Aku teringat tayangan di televisi tentang ketangguhan pilot pesawat tempur Amerika, atau Rusia,  terbang membawa pesawat penuh amunisi beribu-ribu mil jauhnya.  Satu yang membuatku lebih terkesan,  kadang pesawat tempur itu mengisi bahan bakar di udara!  Coba bayangkan itu!  Sambil terbang di udara! 

"Hai kau tak apa-apa, Martinus? " Aku terkejut. Kiranya melamun.
"Ya aku tak apa, Van, "  aku harus konsentrasi lagi

Menara pengawas sudah memanggilku. Artinya aku dan Evan sudah harus masuk landasan pacu. Mesin kunyalakan, suplai bahan bakar tersambung,  pesawat menggelinding pelan hingga titik pacu. Setelah pesawat berputar kecepatan kutambah terus,  terus dan terus sampai kecepatan minimal untuk pesawat naik dengan aman. Evan menunggu.
"Naik! " seketika tanganku dan tangan Evan mendorong tuas naik bersamaan,  berbarengan dengan itu hidung pesawat terangkat. Tapi tiba-tiba aku merasa pusing yang sangat dan dan mataku semakin samar melihat, dan semakin gelap dan gelap sekali.

"Martinus,  kau tak apa-apa? " aku tak menjawab.
"Martinus?  Martinus!  Martinuus! !"


         *      *      *


Dimana ini? Mengapa aku ada disini? Kemana semua orang? Langit diluar gelap. Sudah malam. Tubuhku lemas sekali, sampai harus meraih besi teralis. Sekelilingku temaram. Hanya sinar lampu dari luar gedung ini, menerobos melalui celah jendela. Saat seperti demikian ini harus menemukan seseorang. Tapi pertanyaanku belum terjawab, mengapa aku disini? Bagaimana bisa aku... aku.. akuu?? Ya, siapa aku? Tunggu dulu, aku harus mengingat-ingat dulu. Mungkin harus menenangkan diri dulu disana, di ujung selasar sana, ada kursi panjang kulihat, samar-samar.

Seingatku adalah... Anak bangsawan? Ah, bukan. Dokter? Ah bisa jadi, lihat saja sekeliling ruangan ini, sejak kecil aku mafhum ruangan seperti ini. Ada brankar, bau obat-obatan yang membuat mual, pintu putih dengan nomor pada pintunya, segala benda disekitar yang serba putih! Ini pasti rumah sakit, dan aku dokternya! Tapi aku ragu, pakaian yang kukenakan seperti ini. Jelas bukan pakaian dokter. Pengetahuanku? Coba baca tulisan di dinding itu: HARAP TENANG. Yang teringat malah nama seorang tokoh novel BERAHIM HARAP TENANG. Apa yang bisa menjelaskan mengenai siapa aku sebenarnya? Tak adakah petunjuk disekitar? Dalam gedung yang kosong melompong ini? Harus keluar dulu dari tempat ini, tapi untuk bangkit saja sulit.

Uggh..! Dengan kepala yg sakit seperti ini tak bisa berfikir lebih banyak. Aku agak haus, butuh air. Semoga saja dapat menemukan air di salah satu ruangan di gedung ini. Tapi aku butuh pertolongan. Pada siapa aku bisa meminta tolong?

{} {} {}
Sebuah mobil colt L300 berhenti didepan bangunan perkantoran. Sang supir dan dua orang temannya turun dari mobil itu, dua temannya membuka pintu belakang sambil dihampiri dua orang penjaga pintu depan. Mereka menggelandang paksa empat orang wanita dari dalam mobil colt dan menarik mereka masuk ke dalam gedung, sementara sang supir melapor pada bos. Wanita yang digelandang meronta-ronta melawan empat berandal itu, tapi kalah kekuatan.

Mereka dimasukkan ke suatu ruangan yang tertutup dan pengap, berlantai karpet dan dibagian depan ruangan itu didesain lebih tinggi dua undak tangga seperti ruang sidang. Didalamnya sudah ada berpuluh wanita yang berusia rata-rata hampir seusia mereka. Mereka dilemparkan ke dalam sambil disuguhi teriakan empat pria penggelandang itu. Pintu pun segera dikunci.

Wanita yang baru saja dilempar ke dalam kembali meronta dan memaksa menarik-narik pintu sekuat tenaga, berharap pintu akan jebol, tapi tetap tak bergeming. Mereka yang sudah didalam hanya melihati wanita itu, seolah memberi kesan: percuma kau kuras tenagamu macam itu. Pintu itu takkan terbuka!

Tiga wanita lainnya hanya menangis sesenggukan, lemas tak berdaya. Meratapi nasib diperlakukan seperti ini. Mereka tak tahu apa salah mereka dan mungkin salah orang tua mereka sehingga mereka lah yang menanggung akibatnya.

Seorang dari wanita yang sudah masuk sebelumnya menghampiri ketiga wanita itu, berusaha menenangkannya. Yang lainnya menggotong wanita yang telah jatuh pingsan kehabisan tenaga berusaha mendobrak pintu.

"Ayo angkat.. Awas pelan-pelan. Rebahkan di pinggir sana," perintah Asmin.
"Minyak anginku sudah habis. Bagaimana menyadarkannya?" tanya Lani.
"Kipasi saja dan jangan mengerubungi dia. Biarkan dia menghirup oksigen lebih leluasa,
"Baik. Yang lain minggir!"

            Itu hanya sekelumit kejadian yang berulang ulang kali terjadi akhir akhir ini. Selalu diawali dengan datangnya sebuah Colt L300, digelandang beberapa orang dari dalam mobil, penjaga penjaga bertubuh kekar, selalu menampilkan otot otot dada yang bertimbulan karena kaus yang ketat, dan berakhir dengan makian jerit sumpah serapah, kadang dengan raungan tangisan meratap ratap. Namun sekali lagi, itu hanya segelintir respon dari orang orang yang berada didalam sana, nun pengap hampir tiada dapat udara keluar masuk dengan bebas, apalagi orang orang yang ditahan

            Sebagian yang lain hanya diam. Pasrah. Merasa dengan berdoa saja cukup untuk dapat membuat mereka dapat melarikan diri dari tempat yang lebih pantas mereka sebut penjara. Bahkan saking penuhnya lebih pantas lagi disebut kandang babi. Didalamnya orang orang yang diculik itu bergelimpangan beradu badan, sesak. Menanti nantikan pertolongan segera datang: satu pasukan penuh bersenjatakan lengkap, senapan serbu otomatis, seragam loreng loreng mengerikan, sepatu boot tinggi hingga ke betis, badan badan tegap atletis, wajah yang coreng moreng. Menyerbu dengan gagah berani. Tangan kanan memegang senapan dan tangan kiri siap menarik granat. Atau jika sewaktu waktu diperlukan, mencabut pisau komando, tajam di bawah, di atas bergerigi. Di belakang mereka panser panser siap melindungi. Dengan satu kode, panser menembak, dan DUAARR!!. Rata dengan tanah. Tapi ini hanya baru sekedar mimpi bagi sebagian lain orang  orang itu.

            Di dalam situ, di tempat perempuan perempuan itu disekap, telah ditunjuk seseorang untuk memimpin mereka. Penunjukan sederhana tanpa gaya formalitas. Dialah Asmin.

            “Pehh! Ada lagi!? Sebenarnya untuk apa kita diculik!? Kenapa makin bertambah?” Asmin duduk di atas meja. Lani mengekor berdiri di sebelahnya.

            “Ini ku katakan, untuk mengingatkan kita semua lagi. Sekaligus karna ada orang baru,”

Seluruh pasang mata memusatkan pandangan hanya pada Asmin. Mereka tak mau bersuara. Lani hanya cengengesan.

“Kita korek maunya apa, setiap penjaga mengantar makan. Tak pernah dijawab!” Lani mengangguk.
“Sudah kutanya alasan mengapa kita ditangkap, bilangnya selalu, nanti, bos kami akan datang. Tak jelas! Sudah dua bulan kita mendekam disini!” Lani kembali manggut manggut seperti ayam hilang keseimbangan di dahan pohon.

Lalu, “Apakah kita harus mendekam hingga mati perlahan lahan disini!?” Taka ada yang menjawab. Hanya Lani yang mengganti gerakan dari manggut manggut ke geleng geleng.

Satu dari empat orang yang baru tadi masuk penyekapan memberanikan diri bicara, melihat dari perawakan Asmin yang seorang perempuan, namun tampillannya diatas perempuan rata rata, dia agak paham mengapa yang lain tak berani bicara. Meski ia takut dibilang sok tahu.

“Apa sudah pernah melakukan sesuatu untuk melarikan diri beramai ramai dari sini, kak?” Tanya perempuan satu itu.

“Sudah beberapa kali. Tak terhitung jumlahnya. Tak ku hitung pula. Siapa nama kau?”
“Aku Lubis. Aku dari Jakarta, dan aku juga bisa beladiri,”

“Beladiri? Benarkah?”

“Ya,”

Asmin bangkit dari meja, mendekati Lubis, memperhatikan dari atas ke bawah. Lubis yang tadi duduk, segera berdiri menyadari dirinya dinilai mentah mentah sosok didepannya.

“Ya. Kita lihat saja nanti. Apakah kau bisa menghajar orang orang ini,” ketus, menjatuhkan, dan taka da sedikitpun menghargai. Lubis tak membalas dan Asmin kembali ke singgasana tak resmi-nya.

“Lubiiis, asal kau tahu. Telah berjibaku kami untuk keluar, dengan tenaga maupun fikiran, gagasan. Tak ada satu pun yang mempan. Aku bicara begini bukan untuk menghalangimu. Kalau kau ingin mencoba, silahkan saja,” Lani di sebelah Asmin mengaminkan.

Lani memotong, “sudah, sudah. Kita istirahat lagi. Tak ada lagi yang bisa kita kerjakan sekarang. Ayo, ayo,”

Lubis mengernyit. Banyak hal yang ingin ia ketahui dari orang orang disini. Mengapa mereka dan dirinya sendiri mengalami nasib serupa. Dipegangi, dibuat pingsan, dan dikurung ditempat pengap begini. Mereka yang sudah lebih dulu masuk, tak ada rasa menggebu gebu ingin lari. Tenang tenang saja. Bermain main dengan sisa sisa angin, tidur terlentang, mati akal.

Lubis masih ingat ketika masa SMP, ia dan teman temannya berlatih beladiri di lapangan sekolah. Siang bolong panas sangat terik, tak ada yang menaungi mereka selain pohon ceri tua yang sudah tak berbuah. Itu pun tidak cukup untuk melawan bulatnya matahari tepat di atas kepala. Berbagai pukulan dan tendangan, silih berganti, bermacam macam jurus, menahan konblok terbakar tanpa alas kaki sehingga dengan mudahnya kaki melepuh. Badan diikatkan pemberat dari dua botol 1 liter berisi penuh air, berlari memutari lapangan lima puluh kali seperti orang gila, menghancurkan tumpukan bata, kesemuanya itu membuat Lubis semakin yakin dapat melawan cecunguk penculik yang menyekapnya. Andai saja dia tak dibikin pingsan saat diculik, kejadiannya tak akan begini.

*      *      *

            Sejak kecil, Martinus dibesarkan dalam keluarga yang sederhana. Tinggal di rumah kontrakan sepetak bersama ibu dan adiknya. Ayahnya telah meninggalkan keluarga kecil itu pada saat Martinus baru berumur 6 tahun karena kecelakaan di pabrik tempat ayahnya bekerja. Semenjak saat itu ibu Martinus yang bekerja sebagai tukang cuci, melebarkan tangannya dengan bekerja tambahan sebagai kuli bangunan. Pekerjaan yang amat sangat jarang ditemui dikerjakan oleh perempuan.

            Jika hari itu Martinus sekolah, maka ibunya akan mengantarkan Martinus sampai depan gerbang sekolah. Hal itu biasa dilakukan sebelumnya oleh mendiang ayahnya. Ritual sederhana yang tak ditinggalkan anak beranak itu, terus dilakukan hingga Martinus kelas 4 SD. Sebelum memasuki area pekarangan sekolah, Martinus menyambut punggung tangan ibunya dengan ciuman bibir mungilnya. Lalu ibunya mengelus elus kepala Martinus, dan ia segera berlari memasuki pekarangan. Tanpa diketahui ibunya, Martinus selalu berhenti setelah berlari beberapa langkah, dan berbalik. Ia dapati punggung ibunya berjalan menjauhinya sambil menggendong adiknya.

            Ia tahu pasti kemana ibunya akan pergi. Pulang kerumah dan menghadapi gunungan cucian kotor dari tetangga yang memakai jasanya, lalu siang harinya bekerja kuli. Ibunya menitipkan adiknya pada tetangga kiri rumah, karena berbahaya mengajak anak kecil. Martinus kecil menarik nafas panjang dan diam diam mengepalkan tangan. Ia menyimpan janji dalam hati akan melakukan yang terbaik untuk ibu dan adiknya.

            Begitu bel sekolah berbunyi pertanda istirahat, Martinus tak pernah langsung bangkit dari kursinya. Ia kembali membaca apa yang baru saja dipelajarinya. Selesai membaca ulang, jika anak anak lain berlarian kesana kemari atau membeli jajanan di kantin, Martinus hanya duduk dibawah pohon yang rindang. Ia mengamati apa saja yang bisa diamatinya. Kadang ia mengamati akar pohon, kadang mengamati anak lain bermain bola, kadang mengamati ibu penjaga kantin, kadang ia mengamati tanah yang dulu pernah dilubangi penjaga sekolah untuk membuang isi perut dai kambing yang dipotong pihak sekolah saat perayaan Qurban. Martinus berfikir, kemana cairan hijau dari kambing itu berakhir? Suatu pemikiran yang jarang ditemui pada anak lain, bukan?

            Untuk urusan teman, Martinus tergolong anak yang sulit bergaul. Ia agak pemalu, dan sedikit sekali anak anak yang mengajaknya bermain. Jika diajak bermain, ia sering menghindar. Jika tak diajak, ia serasa ingin ikut bermain. Karena itu pula salah satu alasan Martinus lebih sering menghabiskan waktu istirahatnya di bawah pohon sendirian, mencoba berulang kali mencari objek observasi yang baru dan menarik.

  Di seberang lapangan, lurus saja ke depan tempat Martinus biasa bergurau dengan waktu, terdapat pula pohon duku yang sangat besar dan lebat daunnya, namun masa berbuahnya telah lewat jauh sekali, sehingga dapat dipastikan pohon itu takkan berbuah lagi. Daun daunnya membelai atap genteng coklat gedung sekolah, merimbunkan tepiannya dengan daun gugur. Ketika angin cukup kencang daun daun itu akan berjatuhan ke bawah pohon, sebagian mendarat di koridor. Merepotkan penjaga sekolah sore hari.

Dibalik batang pohon duku itu, seorang anak perempuan beraksi. Mengintai dari kajauhan seperti Elang siap menangkap mangsa. Mengendap endap seperti maling. Mengintip diantara palang palang besi. Memperhatikan sosok kurus yang duduk membatu di seberang lapangan. Dalam diam ia cengengesan. Matanya tak berkedip sama sekali. Semut pohon berwarna merah yang jika menggigit dapat membuat orang menggigil mendadak  tak terasa lagi olehnya.

Konon banyak orang yang apabila diperhatikan secara ekstrim, entah darimana asalnya, akan menghasilkan sengatan tak terlihat yang diterima oleh otak, dan saraf menerimanya sebagai perintah untuk menggerakkan leher kea rah datangnya sengatan. Martinus mengalami gejala itu dan didapatinya anak perempuan di seberang lapangan berdiri membatu dibalik pohon, melotot kearahnya sambil melongo tak karuan. Wajahnya tegang, bola matanya seperti ingin meloncat. Martinus terkejut.

Anak pengintai itu, lebih terkejut lagi menyadari aksi menginyainya ketahuan oleh target. Mata bertemu mata, anak itu terperangah sebentar, lalu membanting punggung ke batang pohon. Wajah pucatnya mendadak merah menahan tawa. Lalu ia mengambil tumpuan pasti kaki kanan, melesat masuk ke dalam kelas. Pengintaian hari itu berakhir. Bel berbunyi dan Martinus kembali ke dalam kelas. Anak pengintai tersenyum simpul.

*      *      *

Barisan semut semut hitam beriringan berkelok kelok meniti tepian selokan. Sebagian jalur ekspedisi mereka terkena basahan dari tukang penjual bakso yang membuang air bekas cucian bercampur sisa makanan. Dalam beberapa jam kemudian sisa sisa makanan akan dikerubungi semut semut, berebut makan dengan kucing, ayam, dan anjing. Menciptakan keributan kecil di siang hari yang tenang. Panas yang menjerang, sebab hujan tak turun sejak beberapa bulan yang lalu, membuat siapapun gerah dengan keadaan dan membuat orang lebih memilih tidur siang ditemani kipas angin, dengan putaran baling baling yang paling kencang. Atau orang orang yang bekerja di kantor mengurangi suhu pendingin ruangan.

Awan tak selembar pun menghalangi cahaya matahari menusuk bumi. Jalanan beruap, pepohonan kering semakin layu, debu beterbangan menyesak paru paru, kadang tersasar pada bola mata. Tukang ojek yang sedang ngebut pontang panting menyambut calon penumpang di Pasar Pagi menabrak gerobak tukang gorengan di pinggir jalan. Tua muda, pria wanita, dewasa remaja, berhamburan keluar. Ingin tahu apa yang terjadi.

Rifat yang tengah memeluk mimpi di beranda rumahnya sontak meloncat. Diusap usap kedua matanya. Menoleh ia kiri dan kanan. Dilongokkan kepalanya ke arah kerumunan orang. Tangan kanannya memegang segelas the tawar.

“Ada apa itu, bang Asrul??”

Bang Asrul, tengah melayani pembeli menyahut “Ada motor menabrak gerobak. Sepertinya karena mengantuk,”

“Tak mau lihat kesana, bang?”

“Kau lihat sendiri lah. Pelanggan ku sudah antri. Nanti mereka kabuur. Rugilah aku!”

Rifat cengar cengir. Kembali dilemparkannya pandangan ke tempat kejadian perkara. Pemotor yang sedang sial, pikirnya. Rifat kembali duduk di kursi panjang dan mengambil Koran. Dibolak baliknya halaman per halaman, sampai matanya tertuju pada sebuah tulisan: SAYEMBARA!! SIAPA BISA MENGALAHKAN MR. DAUD, SANG MASTER GULAT, MENDAPATKAN HADIAH SEBESAR 10 JUTA RUPIAH, DITAMBAH PAKET JALAN JALAN KE BOLI. DAFTARKAN DIRI ANDA SEGERA KE GELANGGANG OLAHRAGA DI KOTA ANDA!!


Rifat membanting Koran dan menyerbu masuk ke dalam rumah. Disambarnya pakaian dan dinyalakannya mesin motor butut peninggalan ayahnya. Secepat kilat Rifat melesat pontang panting menuju gelanggang. Lampu lalu lintas tak diindahkannya. Polisi yang berjaga menyemprit dengan bernafsu dan mengejar Rifat. Rifat tahu ia sedang dalam masalah. Dibelokkan motornya masuk ke dalam gang sempit. Ia ingat ada rumah sahabatnya yang bisa ia singgahi sebagai tempat bersembunyi. Sekejap saja, polisi lalu lintas telah kehilangan jejaknya.

1 comment:

  1. https://www.facebook.com/zakiahnurmala.berahimmatarum/likes

    ReplyDelete

About Us

Recent

Random