driver UBER, penulis novel, penjual susu dan yakult {tapi jarang minum susu}, dan es batu di bulan puasa

Wednesday, 3 May 2017

Kumbang di Musim Dingin

Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah. SMA Bhakti negeri. Aku gugup sebab hari pertama ini berbeda dengan hari  saat orientasi. tenang sekali seperti berada dalam masjid. walau demikian memang ada sedikit hiruk pikuk tapi ini tidak seperti hiruk pikuk sebuah sekolah. biarpun ini hari pertama aku masuk sekolah, aku paham betul seperti apa  ramainya sekolah.  ada yang berlari-lari. ada yang mendengar cerita sambil tertawa-tawa terbahak-bahak.  ada yang duduk di sepanjang selasar sekolah atau  di depan kelas masing-masing.  Ada pula yang berdiri bersandar pada pagar dinding sehingga dari  sana  setiap siswa bisa melihat ke lapangan di lantai bawah.  anak-anak perempuan yang berada di sana biasanya akan berbisik-bisik sambil tersenyum kecil melihat kakak kelasnya bermain basket atau bermain futsal. aku sering perhatikan hal itu selama hampir 3 tahun ketika aku di SMP. tentu seharusnya tidak jauh  berbeda dengan di SMA bukan? 

tapi ini lain. aku rasa aku telah keliru Memilih jalan sehingga aku menuju ke masjid tempat biasa aku mengaji. masjid tempatku biasa mengaji Suasananya sangat tenang sekali seperti berada di masjid Tanah Arab sana. siapapun yang masuk ke sana spontan akan melupakan masalahnya. seseorang akan melupakan hutangnya Ada yang melupakan  kucingnya yang hilang. atau juga melupakan istrinya yang ketahuan Main Serong. belum lagi ketika Pak Haji di masjid itu Tengah melantunkan ayat-ayat suci Alquran. tidak akan ada seorangpun yang berani berbicara dalam masjid  apalagi sampai berkeluh kesah, membuat suasana keributan, menciptakan suasana panas. cara melantunkan ayat-ayat suci persis seperti seorang Qori kelas internasional. termasuk diriku apabila selesai sholat aku mendengar Pak Haji masjid sedang mengaji , maka walau aku hendak ada keperluan lain Aku tidak akan segera pergi meninggalkan masjid. 5 sampai 10 menit aku akan memilih beritikaf sambil mendengarkan lantunan Pak Haji. Duduk dengan tenang , Pejamkan mata dan bernafas secara teratur, maka kita akan mendapati diri sedang berada di pedalaman kota nun jauh di Timur Tengah sana. 

dan apa yang aku rasakan sekarang terjadi lagi namun berbeda tempat. semestinya Aku sedang mendengar riuhh rendah  orang-orang lalu lalang, suara gendang-gendang meja , obrolan-obrolan kakak kakak kelas dan mungkin juga suara motor yang datang  memasuki halaman sekolah. kujumpai banyak orang di sana, diantara mereka tidak ada satupun yang berbicara. mereka hanya berjalan menatap lurus ke depan. aku masuk ke selasar dan menengok ke lapangan olahraga. Astaga ini bukan lapangan, tapi kolam renang! Aku yakin apa yang kulihat kemarin di posisi kolam renang sekarang adalah lapangan bola dan lapangan basket. kedua lapangan itu dibuat dengan panjang yang sama. itu berarti lapangan bola itu lebih pendek dari yang harusnya. ya Karena itu adalah lapangan futsal. tapi aku tak percaya dengan apa yang aku lihat sekarang. aku kucek mata, ah itu sudah biasa. cubit kulit sendiri? itu juga metode umum untuk mencoba menyadarkan diri takut-takut kalau ini masih dalam mimpi. maka kulakukan cara yang ekstrim. sebuah tiang penyanggah atap selasar memberiku sebuah ide. membenturkan kepala. tapi aku hanya seorang anak laki-laki biasa yang nyalinya mudah ciut. aku tahu risiko mengorbankan kepalaku seperti apa. dalam tas terdapat buku dan alat tulis, tapi ada satu yang tidak biasa ku bawa: stick drum. segera ku keluarkan  dan aku siap beraksi. tak  pletak!  ah sial. bodoh sekali. Ini sama saja dengan ide membenturkan kepala ke tiang. dan aku yakini ini memang aku tidak sedang berada dalam mimpi. Jika memang demikian, ke mana semua orang di tengah keramaian ? apa aku beranjak gila?


88888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888


Benda jatuh karena adanya Gravitasi. Newton yang Adiluhung punya pasal. Buah yang terlalu masak, layang-layang, pesawat terbang, gelas di atas meja, akan jatuh ke satu arah. Begitupula air dari langit sore ini. Awan Cumulonimbus meliputi pondok dan sekitarnya, lebih kurang dalam radius 5 hingga 10 Km, atau lebih. Aktor air yang dimaksud adalah mereka mereka yang "mampir" sebentar, lalu entah kapan, mungkin hanya Tuhan yang tahu, bersiap ke proses selanjutnya untuk kembali ke ketinggian. Perjuangan yang tiada putus putusnya, terus berlanjut tanpa kenal lelah.

"Mampir", bagi Aktor air ini menjadi proses yang terlalu panjang sehingga memakan waktu. Maka ia menjadi musik pengiring malam, bersama burung malam, bagi seorang yang tak mengerti lagi buminya. Air itu, membangunkannya dari tak sadarkan diri entah berapa lama. Perlahan matanya terbuka, menjaga dari rusaknya mata akibat silau cahaya yang sudah tak bergairah. Bibir yang kering dibasahinya dengan lidah. Bergetar tangannya meraih gelas didekat kepalanya. Takut, gelas jatuh dan mengancam nyawanya. Nafasnya sebentar saja tersengal. Tangannya dikepalkannya untuk meredam, dan untuk meyakininya akan pulih tenaganya. Punggung yang dulu kokoh itu sudah mulai layu. Sudah tak  sanggunp menopang tubuhnya.

Ia berusaha tenang, sambil mngambil ancang ancang. Pada hitungan ketiga ia telah bangkit dari rebah dan meraih tongkat kayu. Langsung ditancapkan ke tanah. Ia dengar suara air menetes. Jam berapa? Apa sudah fajar? Ia menoleh ke kanan ke kiri, mencari tahu. Sedang ia sendiri tak tahu mau melakukan apa, sementara angin menampar lembut bulu kuduk. Sejak hari pertama ia tinggal di ppondok, ia tak tahu lagi soal waktu. Yang ia tahu hanya siang dan malam, gelap dan terang. digenggamnya gelas untuk menghilangkan dahaga. Persediaan makanan telah menipis. Air dalam wadah keramik telah kosong. Ia masih hidup maka ia harus keluar mencari peradaban, mencari orang orang, setidaknya mendapat sedikit saja makanan untuk tetap hidup.

Ia mengambil gitar usang didekatnya, membersihkan debunya, dan berusaha menyetel nada tiap senarnya. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di pondok, hanya benda itulah yang menemani kesendiriannya. Dipetiknya, dirasakannya, memang kurang layakbaginya. Gitar itu hanya menyisakan 3 senar yang letaknya berjauhan. Mengakalinya, ia tak paham. Dirinya membatin. Masih belum pulih tubuhnya, ia memaksakan diri berjalan menuju pintu. Nafasnya masih sesak. Tapi waktu tidak mau menunggu, Dibawah pintu air menggenang. Tanahnya terlihat licin. 

Diluar suasananya gelap sekali. Hanya tampak titik cahaya di kejauhan. Itu tujuannya. Ia yakin itu adalah cahaya dari kampung sebelah. Menurut tetangga yang ia temui di kampung ini, kampung sebelah itu adalah akses satu satunya untuk ia kembali pulang ke kota. Namun menurut tetangga itu, untuk berjalan hingga kesana butuh waktu belasan jam bagi orang yang sehat, melewati jalan kecil di tengah hutan. Sementara di kampung itu, tidak ada kendaraan termasuk kuda atau kerbau. Pagi ini juga, ia ingin berangkat. Ia tak peduli  akan bahaya apa yang ada di depan matanya nanti. Ia yakin dirinya akan kuat terus berjalan. Apa yang ditemuinya dijalan, apabila bisa dimakan, akan diambilnya. Semakin lama ia hilang, semakin tipis kesempatannya untuk hidup. 

"Kuatlah, kuatlah! Tak ada yang bisa mengalahkanmu. Tak ada,Tak ada!"


Tunggu lanjutannya....

2 comments:

  1. Hai anak mudaa, Membaca ceritamu itu kayak nonton film. mudah diikuti. Ayo ditunggu lanjutannya. pemeran aku sama ia itu siapa?
    Iri banget bisa nulis sebagus inih..:D

    yaniyn.blogspot.co.id

    ReplyDelete

About Us

Recent

Random