driver UBER, penulis novel, penjual susu dan yakult {tapi jarang minum susu}, dan es batu di bulan puasa

Thursday, 17 September 2015

Belum Ada Judul bagian 2

14:02
II

            Debu, pengap, dan panas. Aku benci tiga hal itu. Tak pernah tahan akan hal itu, berlama lama didalamnya. Bahkan bermimpi bersahabat pun tak pernah. Bila debu tak dapat terhindarkan, menaikkan bagian kerah depan baju jadi pilihan paling sering ku lakukan. Jarang terbersit menggunakan masker, kecuali bila di televise muncul berita tentang suatu daerah yang sedang diselimuti asap tebal akibat kebakaran hutan atau adanya abu vulkanik letusan gunung yang merambat jauh, jauh ,dan jauh.

            Bagiku debu terbagi dua, salah satunya dapat ditahan. Soal salah satu debu aku punya cerita yang ketika menceritakannya hidungku akan gatal sendiri. Konon sejak aku kecil, aku telah terbiasa memperhatikan ayahku mempunyai perilaku yang ku anggap unik. Sejak aku memahami ilmu satu minggu memiliki tujuh hari, tak pernah tiap minggunya ayahku absen mengganti tata letak kamar. Mengganti tata letak kamar menjadi suatu kebutuhan seumpama orang makan tiga kali sehari.

            Bila ritual ini dilakukan, hampir seluruh perabot dalam kamar berpindah. Baik itu meja, kursi, radio, tempat tidur, lemari pakaian, lemari buku, meja buffet, meja kerja, dan segala tetek bengeknya. Besar curigaku pada ayah, andai saja pintu bisa ditukar tempat secara instan, maka pintu akan diletakkan sesuka hatinya. Senin ke Kamis menghadap Ruang Keluarga, sisa hari minggu itu dihadapkannya ke Dapur. Tak pernah permanen.

            Maka jika tiba hari H-nya, aku bersiap siap menahan nafas lebih lama. Layaknya langit malam hari yang sangat gelap, bintang gemintang tumpah di angkasa. Bertaburan melayang layang, melesat lesat ke segala arah, berkejar kejaran dengan asteroid. Partikel partikel debu berukuran lebih kecil dari atom, yang terlihat hanya jika terbias cahaya matahari saja, melayang layang ringan, berlagak manis aduhai tapi menyebalkan kalau sudah masuk lubang hidung. Sulit untuk dihindari, lebih lebih kalau sudah terlanjur masuk saluran pernafasan, dalam beberapa detik aku akan mendongakkan kepala, dan sekejap membanting arah ke bawah sambil bersin sejadi jadinya. Terlemparlah keluar benda menjijikkan, beserta kuman kuman bawaannya.

            Soal pengap dan panas, ada baiknya kusatukan saja bahasan ini, sebab menurutku hampir sama rasanya terkena dua hal itu. Bermacam macam sebabnya, bisa karena kurangnya sirkulasi udara dalam ruangan, kurangnya pepohonan, berada dekat dekat bagian belakang AC, dekat dengan mesin mobil, berada diluar rumah saat matahari sedang terik teriknya, sampai bisa ditarik garis lurus dari kepala, terlihat posisi matahari tepat di atas kepala, atau memakai pakaian berbahan panas.

            Untuk menyiasatinya, menghindari hal yang berakibat semacam itu cenderung kulakukan, dan yang paling sering adalah tidak keluar rumah siang hari bolong. Sebisa mungkin, tak ada yang bisa merayuku keluar rumah, walau dengan godaan yang merontokkan daun keimanan.

            Ketika itu hampir pertengahan Agustus. Langit tiada tanda tanda akan menurunkan hujan. Pukul setengah dua belas siang, lewat sedikit. Duduk di beranda rumah, sambil meresapi hawa surgawi yang hanya terbingkai dalam otak saja. Angin yang berhembus sesekali, tak menghilangkan gerah. Rasanya darah dalam tubuh ikut mendidih. Tanaman tanaman ranggas didepan rumah yang apabila sedang makmur bisa merambat hampir sekilo panjangnya, hanya bisa tertunduk kuyu. Andai tanaman itu berleher, maka leher itu akan terus menekuk sampai perlu dipanggil tukang urut untuk mengambalikan fungsinya. Kering. Berkerut kerut. Berbenjolan seperti otot binaragawan tapi merana. Buahnya pun tak tampak lagi.

            Disampingku segelas kopi, pekat berlinang linang dan dipercantik beberapa butir es. Aku senang kopi dingin. Ingin mengganti kopi dengan jeruk agar menjadi es jeruk, tapi jeruk yang biasa manis jika disajikan dengan es di warung warung pinggir jalan, tak membuat kantuk hilang. Selesai membantu Ibu mencuci piring di dapur, aku segera melompat bersama kopi. Belum setengah gelas kopi terminum, Ibu memanggil.

            “Boooooooottttttttt!! Tooboooooooottttttttttt!!!”

            Celaka! Aku buat salah apa?

            “Iya buuu??”

            “Garam sudah habiiisss! Cepat beli ke pasaaarr! Sana cepaaaattt!!”

            “Iyaa buuu!”

            Cepat cepat aku keluarkan sepeda dari ruang tengah, sampai terantuk jari kelingking kakiku pada tepian pintu. Luar biasa rasanya. Kalau tak percaya Anda boleh mencobanya. Ibu hampir sama dengan ayahku. Mereka berdua gesit. Apa apa yang dikerjakannya cepat namun pasti. Tak seperti aku yang agak lamban. Jika mengerjakan sesuatu secara cepat sering tak beres. Perlu waktu berbulan bulan agar aku bisa mengerjakan sesuatu secara cepat, berulang ulang kali. Tapi ada satu cara membuatku mengerjakan sesuatu cepat selesai dengan hasil yang lumayan: buat aku marah besar.

            Di daerahku pasar yang terdekat hanya Pasar Gundal. Dalam hitungan kilometer jarak tempuhnya. Sudah kubilang, matahari tepat lurus diatas kepala. Jalanan menjadi sangat berdebu, bercampur asap kendaraan. Asapnya hitam seperti asap pembakaran sampah berbahan karet. Pekat, tengik lagi baunya. Karena ibu yang menyuruh aku pasrah. Kukayuh sepeda sekuat nafas, sebentar kencang sebentar pelan.

            Baru beberapa saat jalan, belum berganti daerah kecamatan tempat tinggalku, perasaanku tak enak. Lebih lebih tubuhku seperti berada diatas bara. Sepeda terus berjalan. Ingin aku menengok ke belakang.

            “Aaaapa ini? Kenapa tiba tiba jiwa jadi tak tentram?” batinku.

            Nun jauh di depan kulihat tanjakan lumayan terjal. Biasa kusebut Tanjakan Tak Berperasaan sebab si pembuat jalan itu seperti kehilangan akal, mengapa memaksakan membangun jalan mengukuti terrain tanah yang terjal?

            “Hei! Berhenti!!”

            Teriakan entah darimana asalnya mengejutkanku dan hampir membuatku membanting stang ke pinggir, menuju parit. Kurang ajar betul! Aku bisa terjungkal!

            Ku toleh ke arah datangnya suara yang ku terka, kanan. Mobil Colt L300 menggerung gerung di belakangku dan seperti hendak membabatku.

            “Berhenti kau! Berhenti!!” pria kasar memunculkan kepala dari jendela pintu kiri mobil.

            “Apaa!?? Mau apa!??” balasku.
           
“Berhentii! Minggiirr!!”

            Tidak ada sopan santun. Jalan masih cukup lebar untuk menyalip. Sepedaku pun tak selebar dan tak sepanjang truk container. Besar curigaku maka ku kebut sepeda. Kurendahkan kepalaku dan ku putar sadel kencang kencang. Klakson Colt L300 ganti menerorku.

            “Berhenti kauu!!” teriakan itu lagi

            Spontan kurasakan sepedaku bergoyang goyang hebat. Dengan reflex yang tak pernah kupelajari dimana ku turunkan kedua tungkai berada tepat disamping sepeda. Aku hilang keseimbangan dan aku pasti akan jatuh! Colt itu menyundul sepeda dengan tidak senonoh. Bagian belakangnya!

            “oowowowowoowooooowwww!!”
           
“Maka itu berhentilagh!!”
           
Aku naik pitam.

            Sudah tak aman. Jiwa ini terancam. Jelas jelas berandal ini ingin membunuhku. Nun di depan sana kulihat ada jalan setapak menuju sebuah gang. Lebarnya hanya selebar sepeda motor saja. Ku lemparkan sepeda disertai gerakan kuda kuda memijak tanah, lalu dengan satu momentum singkat bertumpu kaki kanan aku lari tunggang langgang, menerabas kardus kardus bekas dan tong sampah pinggir gang. Warga yang berada disana melihati tanpa tahu apa yang bisa dilakukan, terbengong bengong. Rasanya aku berlari dibantu angin.

            Ku tengok belakang, orang orang dari mobil itu mengejarku. Paham aku, ini bukan sekedar tensi tinggi pengguna jalan raya. Aku berkelak kelok di gang gang yang ada, tak ku perdulikan arah. Semburat serampangan menghantam apa di depan mata. Jemuran pakaian, jemuran kerupuk, jemuran Rangginang. Jemuran Rangginang diatas tampah ku terbalikkan. Berserakan kemana mana. Nafasku tersengal. Tak kuat lagi berlari aku sembunyi dibalik dinding rumah petak sehabis menikung. Nafas menderu deru, keringat bercucuran menganak sungai, mata perih kena debu. Sudah kukatakan aku benci debu. Berlari sprint di gang membuat debu naik.

            Ku coba mengatur nafas, jangan sampaai orang orang itu mendengar nafasku. Siapa mereka? Mereka cukup kekar, sedikit berjanggut dan berpakaian serba hitam. Postur tubuh yang jika orang awam melihatnya pasti menjatuhkan anggapan mereka adalah tukang pukul. Algojo! Kaki tangan pejabat elit! Atau yang paling rendah, kaki tangan rentenir! Seingatku aku tak pernah memiliki hutang, apalagi nominal besar. Apakah ibuku memiliki hutang? Ah tak mungkin. Kami sudah lebih dari cukup makan minum dari hasil ibu berjualan. Sial! Lalu siapa mereka dan mau apa mereka!?

            “Kemana larinya dia?”
           
“Mungkin kesana?” terdengar percakapan orang itu. Ingin mengintip ke balik dinding ini tapi aku takut.

            “Bodoh! Ini akibatnya kalau terlalu banyak makan! Mengejar semut saja kalian tidak bisa!”

            Semut!? Aku dikatai semut!?? Awas kau nanti!

            “Berpencar!”

            Aah, jadi mereka berpencar? Kenapa mereka amat bernafsu mengejarku? Pening dibuatnya. Kakiku sudah mulai gemetar, dan gigi mulai gemelutuk. Haus dan gerah. Tapi aku berada di tepi jurang kematian. Salah sedikit saja bisa ketahuan posisiku. Itu sama saja mengumpankan diri!

            “Naaah! Ini diaaa!! Disini heeeeiiii!!!”

            Sial! Aku ketahuan! Ku coba berkelit lari lagi tapi sebatang lengan Samson merenggut leherku.

            “Aku mendapatkannya! Sebelah siniii!!”
           
“Siapa kalian!? Mau apaa!!?? Kalian salah tangkaaap!!!”

“Pegangi, pegangi!” kakiku di genggam.

“Sikat, sikatt!”

Salah seorang dari mereka mengeluarkan kain krem dari balik jaket jeans denim dan membekap wajahku.

“Toloooong!! Toloooooong!!!”

Sekejap kemudian, tubuhku terasa ringan dan kurasakan bahagia, tiada perkara. Hingga semua gelap dan tak ada apa apa lagi.

*      *      *

            Pesawat Mayan Airline terombang ambing di samudra langit. Segala penjuru berselimut kelam, tak ada yang bisa melihat dengan mata telanjang. Tiada suara kecuali gaung mesin pesawat layaknya hembusan Exhaust Fan. Ketinggian pesawat mencapai 32000 kaki, tekanan udara yang cukup rendah. Pesawat hanya bisa terlihat dari darat karena lampu yang berkelap kelip di bagian luar pesawat, tepat di ujung sayap pesawat. Boeing 777-300 ER, terbang menembus kegelapan bermodalkan instrument visual di ruang kokpit.

            Martinus dan Evan, dua penggawa terdepan penerbangan malam itu, rela bersesak sesak dalam ruang kokpit yang sempit. Di depan mereka terpampang pemandangan terbang malam yang tak tampak apapun, hanya hitam, hitam, dan hitam. Nyawa seluruh awak dan penumpang bergantung pada mereka, hidup dan matinya. Lengah sedikit saja, akibatnya bisa fatal. Tersungkur, terhujam, terguling, dan entah apalagi sebutannya. Tak ada bahasa main main lagi.

            Berbagai tragedi pesawat pernah terjadi: menabrak gunung, masuk lautan, mendarat diatas lahan kuburan, menabrak gedung pencakar langit, menabrak rumah rumah, tertembak misil di langit daerah konflik, hilang pesawat serta awak penumpang, bahkan bertumbukan dengan sesame pesawat. Penyebabnya pun bermacam macam: kebijakan prosedur penerbangan yang salah atau tak dipatuhi, sarana prasarana yang buruk, faktor lingkungan dan cuaca, dan yang paling klasik: faktor human error.

            Martinus meregangkan otot otot tubuhnya, menarik badan sedikit keatas. Ia telah sadar kembali. Evan disebelahnya merapikan kotak kecil P3K, bangkit dari kursi dan meletakkan kembali peralatan medis ke area belakang kokpit. Nun dihadapan mereka tiada apa pun. Hanya hitam, hitam, dan hitam sejauh mata memandang. Sesekali tampak bintang amat sangat kecil, berjuta juta kilometer jahnya. Martinus menarik nafas panjang, mengeluarkan sebuah dompet kecil Llama coklat muda dari saku celananya.

            Didalamnya terselip sebuah foto berukuran 3x4 hitam putih yang sudah agak pudar disantap waktu. Ada tiga orang dalam foto. Martinus tertegun menatap orang dalam foto itu, seorang perempuan muda umur dua puluhan, berpakaian motif bunga mawar berenda, panjang hingga melewati lutut. Sorot matanya menampakkan keteguhan jiwa dan kesucian hati tiada lawan. Senyumnya mengembang dapat merontokkan hati pohon Beringin lelaki manapun. Mengalihkan guratan penderitaan hidup di pipinya, yang apabila tampak oleh siapa pun  akan tersihir pikirannya.

            Tangan kirinya menggendong anak lelaki usia balita. Lucu parasnya, menjambul rambutnya, dan begitu gembul pipinya. Semakin bertambah gembul sebab anak lelaki balita itu difoto sambil menyedot empeng, suatu alat dari karet pengganti dot botol susu. Tatap matanya seperti tidak perduli akan halnya foto, atau apapun yang terjadi disekitarnya. Yang ia tahu hanya meracau, menangis bila lapar, berlarian kesana kemari, atau jika belum bisa berlari atau berjaln, merangkak. Mengacaukan apa yang sedang dikerjakan orang disekitarnya. Abangnya, atau ayah ibunya. Maka dalam foto, wajahnya terlihat acuh tak acuh namun tetap menggemaskan!

            Nah, disebelah kanan perempuan muda itu, berdirilah dengan tegap dan kokoh laksana karang samudera yang tak hendak terhempas. Kedua tangannya mengepal keras, penuh tenaga. Pakaian yang dipakainya adalah pakaian pilihannya yang terbaik. Kemeja lengan panjang putih berkancing, dasi kupu kupu hitam, disenadakan dengan celana panjang warna hitam dan ikat pinggang yang juga berwarna hitam. Tingginya baru seperut perempuan itu. Tapi yang sangat tak bisa dihiraukan, adalah sorot matanya yang tajam, seperti ada naga yang terbang melayang layang meliuk, memasuki benteng keraguan, meruntuhkan setiap pilar keputus asaan, mengguncang dan membelah gunung rasa takut, serta membakar daratan setiap kesombongan dan ketamakan. Ia tersenyum, namun senyumnya mengumpulkan suatu energy  gigitan pemutus tali yang dipakai untuk menambatkan kapal di dermaga, terpasang dibalik giginya. Ia seperti terlahir untuk bertarung melawan perompak tujuh lautan.

            *      *      *

            Evan kembali ke posisinya, menyadarkan lamunan teatrikal Martinus pada foto masa kecilnya. Itu adalah foto anak beranak: Martinus kecil, ibu dan adiknya. Kemana pergi, foto itu selalu dibawanya. Tak pernah alpa. Martinus kembali menyimpannya.

            “Rindu pada keluarga kah?” Evan menyelidik. Tampaknya tadi ia mengintip.
           
“Aah tidaak. Hanya membetulkan posisi fotonya saja, agar tidak tertekuk,” Martinus mengelak.
           
“Aku juga kadang rindu pada keluargaku. Ayahku, ibuku, kakak dan adikku, banyak,”
           
            Desau suara mesin menemani kisah Evan.

            “Aku selalu menyempatkan menelepon mereka saat tiba di penginapan. Walau kadang juga tidak selalu. Aku sudah keburu terkapar di ranjang,”
           
“Hmm, menarik sekali. Istrimu bagaimana?”
           
“Istriku yang lebih sering meneleponku. Aku selalu mengirim jadwal terbangku padanya, agar dia tahu kapan waktu ia bisa untuk meneleponku. Teleponlah keluargamu nanti,” Evan tersenyum. Martinus hanya membalas nya dengan tatapan bermakna, terima kasih. Kau memang partner yang baik.

            Mereka berdua kembali berkonsentrasi pada penerbangan. Ratusan nyawa bergantung pada leher mereka. Suasana malamm itu cukup tenang, hanya bunyi mesin, bunyi instrument pesawat, dan mereka berdua yang sesekali menguap. Mereka tak tahu sedang diintai.

NIITT! NIIITT!! NIIITTTTT!!!

            “Gangguan pada mesin empat!” Evan terbelalak.
           
“Periksa!” Martinus mengkomandoi.

Setangkas mungkin Evan memijit tombol tombol pada instrument, mengecek apa yang sebenarnya terjadi. Belum pernah terjadi seperti ini, dalam penerbangan yang melibatkan Evan, terjadi gangguan pada mesin.

            “Suplai bahan bakar menuju mesin empat terganggu. Sepertinya kita akan kehilangan mesin empat!”

            Martinus dengan pengalaman terbangnya, tetap tenang dan berusaha mengendalikan keadaan.

            “Sebentar, aku sedang memeriksa system yang lain,” kini Martinus sibuk bersilat dengan tombol tombol,”

            “Usahakan pertahankan kecepatan. Kita masih bisa terbang dengan mesin yang tersisa,”
           
“Tapi bahan bakar akan lebih cepat habis. Kita harus menghitung ulang jarak tempuh dan jumlah bahan bakar yang tersisa,”
           
“Baik. Kau hitung, aku berusaha membuat laporan,”
           
“Siap!,”

            Dalam beberapa waktu ke depan, mereka berdua telah bertambah sibuk. Awak kabin yang menyadari terus mengkonfirmasi ruang kokpit.

            “Lapor kepada menara pengawas… Lapor kepaad menara pengawas… Pesawat Boeing 777-300 ER penerbangan menuju Sin Chuan mengalami gangguan di salah satu mesin. Ketinggian saat ini 31.500 kaki, arah angin Barat Daya,”

            “Martinus, kita kehilangan mesin empat! Matikan Auto-Pilot?”
           
“Tahan dulu! Kita lihat sebentar lagi,”

            Evan terlihat panic dan ia mengacak acak rambutnya, lalu merapikannya kembali. Awak kabin datang.

            “Apa penumpang harus diberitahu sekarang?”
           
“Ya, beritahu dengan setenang mungkin. Jangan buat mereka ketakutan,”
           
“Baik!” Awak kabin langsung menyongsong kabin.

            Terdengar pemberitahuan yang disuarakan nyaring sekali, dengan pilihan nada yang tepat. Tapi bagi Evan dan Martinus yang berada di belakang kemudi, itu suara yang sangat menakutkan tak ubahnya suara serigala melolong dekat wilayah perkemahan.

            “Baiklah Evan, kita matikan Auto \-Pilot dan tangani kekacauan ini,”
           
“Ah, iya.. Baik,” Evan tampak pucat. Kini wajahnya sudah serupa warna dengan seragam putih pilot-nya. Martinus menepuk nepuk bahu Evan.

            “Tenang.. Tetaplah tenang. Kita akan selamat. Tak akan terjadi suatu apa,”. Martinus tersenyum penuh keyakinan sambil meyakin yakinkan diri pula.
           
“Ba.. Baik, Capt!”

*      *      *

About Us

Recent

Random