Belum Ada Judul bagian 2
M Rizky Pahlevi
14:02
II
Debu, pengap, dan panas. Aku benci
tiga hal itu. Tak pernah tahan akan hal itu, berlama lama didalamnya. Bahkan
bermimpi bersahabat pun tak pernah. Bila debu tak dapat terhindarkan, menaikkan
bagian kerah depan baju jadi pilihan paling sering ku lakukan. Jarang terbersit
menggunakan masker, kecuali bila di televise muncul berita tentang suatu daerah
yang sedang diselimuti asap tebal akibat kebakaran hutan atau adanya abu
vulkanik letusan gunung yang merambat jauh, jauh ,dan jauh.
Bagiku debu terbagi dua, salah
satunya dapat ditahan. Soal salah satu debu aku punya cerita yang ketika
menceritakannya hidungku akan gatal sendiri. Konon sejak aku kecil, aku telah
terbiasa memperhatikan ayahku mempunyai perilaku yang ku anggap unik. Sejak aku
memahami ilmu satu minggu memiliki tujuh hari, tak pernah tiap minggunya ayahku
absen mengganti tata letak kamar. Mengganti tata letak kamar menjadi suatu
kebutuhan seumpama orang makan tiga kali sehari.
Bila ritual ini dilakukan, hampir
seluruh perabot dalam kamar berpindah. Baik itu meja, kursi, radio, tempat
tidur, lemari pakaian, lemari buku, meja buffet, meja kerja, dan segala tetek
bengeknya. Besar curigaku pada ayah, andai saja pintu bisa ditukar tempat
secara instan, maka pintu akan diletakkan sesuka hatinya. Senin ke Kamis
menghadap Ruang Keluarga, sisa hari minggu itu dihadapkannya ke Dapur. Tak
pernah permanen.
Maka jika tiba hari H-nya, aku
bersiap siap menahan nafas lebih lama. Layaknya langit malam hari yang sangat
gelap, bintang gemintang tumpah di angkasa. Bertaburan melayang layang, melesat
lesat ke segala arah, berkejar kejaran dengan asteroid. Partikel partikel debu
berukuran lebih kecil dari atom, yang terlihat hanya jika terbias cahaya
matahari saja, melayang layang ringan, berlagak manis aduhai tapi menyebalkan
kalau sudah masuk lubang hidung. Sulit untuk dihindari, lebih lebih kalau sudah
terlanjur masuk saluran pernafasan, dalam beberapa detik aku akan mendongakkan
kepala, dan sekejap membanting arah ke bawah sambil bersin sejadi jadinya.
Terlemparlah keluar benda menjijikkan, beserta kuman kuman bawaannya.
Soal pengap dan panas, ada baiknya
kusatukan saja bahasan ini, sebab menurutku hampir sama rasanya terkena dua hal
itu. Bermacam macam sebabnya, bisa karena kurangnya sirkulasi udara dalam
ruangan, kurangnya pepohonan, berada dekat dekat bagian belakang AC, dekat
dengan mesin mobil, berada diluar rumah saat matahari sedang terik teriknya,
sampai bisa ditarik garis lurus dari kepala, terlihat posisi matahari tepat di
atas kepala, atau memakai pakaian berbahan panas.
Untuk menyiasatinya, menghindari hal
yang berakibat semacam itu cenderung kulakukan, dan yang paling sering adalah
tidak keluar rumah siang hari bolong. Sebisa mungkin, tak ada yang bisa
merayuku keluar rumah, walau dengan godaan yang merontokkan daun keimanan.
Ketika itu hampir pertengahan
Agustus. Langit tiada tanda tanda akan menurunkan hujan. Pukul setengah dua
belas siang, lewat sedikit. Duduk di beranda rumah, sambil meresapi hawa
surgawi yang hanya terbingkai dalam otak saja. Angin yang berhembus sesekali,
tak menghilangkan gerah. Rasanya darah dalam tubuh ikut mendidih. Tanaman
tanaman ranggas didepan rumah yang apabila sedang makmur bisa merambat hampir
sekilo panjangnya, hanya bisa tertunduk kuyu. Andai tanaman itu berleher, maka
leher itu akan terus menekuk sampai perlu dipanggil tukang urut untuk
mengambalikan fungsinya. Kering. Berkerut kerut. Berbenjolan seperti otot
binaragawan tapi merana. Buahnya pun tak tampak lagi.
Disampingku segelas kopi, pekat
berlinang linang dan dipercantik beberapa butir es. Aku senang kopi dingin.
Ingin mengganti kopi dengan jeruk agar menjadi es jeruk, tapi jeruk yang biasa
manis jika disajikan dengan es di warung warung pinggir jalan, tak membuat
kantuk hilang. Selesai membantu Ibu mencuci piring di dapur, aku segera
melompat bersama kopi. Belum setengah gelas kopi terminum, Ibu memanggil.
“Boooooooottttttttt!!
Tooboooooooottttttttttt!!!”
Celaka! Aku buat salah apa?
“Iya buuu??”
“Garam sudah habiiisss! Cepat beli
ke pasaaarr! Sana cepaaaattt!!”
“Iyaa buuu!”
Cepat cepat aku keluarkan sepeda
dari ruang tengah, sampai terantuk jari kelingking kakiku pada tepian pintu.
Luar biasa rasanya. Kalau tak percaya Anda boleh mencobanya. Ibu hampir sama
dengan ayahku. Mereka berdua gesit. Apa apa yang dikerjakannya cepat namun
pasti. Tak seperti aku yang agak lamban. Jika mengerjakan sesuatu secara cepat
sering tak beres. Perlu waktu berbulan bulan agar aku bisa mengerjakan sesuatu
secara cepat, berulang ulang kali. Tapi ada satu cara membuatku mengerjakan
sesuatu cepat selesai dengan hasil yang lumayan: buat aku marah besar.
Di daerahku pasar yang terdekat
hanya Pasar Gundal. Dalam hitungan kilometer jarak tempuhnya. Sudah kubilang,
matahari tepat lurus diatas kepala. Jalanan menjadi sangat berdebu, bercampur
asap kendaraan. Asapnya hitam seperti asap pembakaran sampah berbahan karet.
Pekat, tengik lagi baunya. Karena ibu yang menyuruh aku pasrah. Kukayuh sepeda
sekuat nafas, sebentar kencang sebentar pelan.
Baru beberapa saat jalan, belum
berganti daerah kecamatan tempat tinggalku, perasaanku tak enak. Lebih lebih
tubuhku seperti berada diatas bara. Sepeda terus berjalan. Ingin aku menengok
ke belakang.
“Aaaapa ini? Kenapa tiba tiba jiwa
jadi tak tentram?” batinku.
Nun jauh di depan kulihat tanjakan lumayan
terjal. Biasa kusebut Tanjakan Tak Berperasaan sebab si pembuat jalan itu
seperti kehilangan akal, mengapa memaksakan membangun jalan mengukuti terrain
tanah yang terjal?
“Hei! Berhenti!!”
Teriakan entah darimana asalnya
mengejutkanku dan hampir membuatku membanting stang ke pinggir, menuju parit. Kurang
ajar betul! Aku bisa terjungkal!
Ku toleh ke arah datangnya suara
yang ku terka, kanan. Mobil Colt L300 menggerung gerung di belakangku dan
seperti hendak membabatku.
“Berhenti kau! Berhenti!!” pria
kasar memunculkan kepala dari jendela pintu kiri mobil.
“Apaa!?? Mau apa!??” balasku.
“Berhentii!
Minggiirr!!”
Tidak ada sopan santun. Jalan masih
cukup lebar untuk menyalip. Sepedaku pun tak selebar dan tak sepanjang truk
container. Besar curigaku maka ku kebut sepeda. Kurendahkan kepalaku dan ku
putar sadel kencang kencang. Klakson Colt L300 ganti menerorku.
“Berhenti kauu!!” teriakan itu lagi
Spontan kurasakan sepedaku bergoyang
goyang hebat. Dengan reflex yang tak pernah kupelajari dimana ku turunkan kedua
tungkai berada tepat disamping sepeda. Aku hilang keseimbangan dan aku pasti
akan jatuh! Colt itu menyundul sepeda dengan tidak senonoh. Bagian belakangnya!
“oowowowowoowooooowwww!!”
“Maka
itu berhentilagh!!”
Aku
naik pitam.
Sudah tak aman. Jiwa ini terancam.
Jelas jelas berandal ini ingin membunuhku. Nun di depan sana kulihat ada jalan
setapak menuju sebuah gang. Lebarnya hanya selebar sepeda motor saja. Ku
lemparkan sepeda disertai gerakan kuda kuda memijak tanah, lalu dengan satu
momentum singkat bertumpu kaki kanan aku lari tunggang langgang, menerabas
kardus kardus bekas dan tong sampah pinggir gang. Warga yang berada disana
melihati tanpa tahu apa yang bisa dilakukan, terbengong bengong. Rasanya aku
berlari dibantu angin.
Ku tengok belakang, orang orang dari
mobil itu mengejarku. Paham aku, ini bukan sekedar tensi tinggi pengguna jalan
raya. Aku berkelak kelok di gang gang yang ada, tak ku perdulikan arah.
Semburat serampangan menghantam apa di depan mata. Jemuran pakaian, jemuran
kerupuk, jemuran Rangginang. Jemuran Rangginang diatas tampah ku terbalikkan.
Berserakan kemana mana. Nafasku tersengal. Tak kuat lagi berlari aku sembunyi
dibalik dinding rumah petak sehabis menikung. Nafas menderu deru, keringat
bercucuran menganak sungai, mata perih kena debu. Sudah kukatakan aku benci
debu. Berlari sprint di gang membuat debu naik.
Ku coba mengatur nafas, jangan
sampaai orang orang itu mendengar nafasku. Siapa mereka? Mereka cukup kekar, sedikit
berjanggut dan berpakaian serba hitam. Postur tubuh yang jika orang awam
melihatnya pasti menjatuhkan anggapan mereka adalah tukang pukul. Algojo! Kaki
tangan pejabat elit! Atau yang paling rendah, kaki tangan rentenir! Seingatku
aku tak pernah memiliki hutang, apalagi nominal besar. Apakah ibuku memiliki
hutang? Ah tak mungkin. Kami sudah lebih dari cukup makan minum dari hasil ibu
berjualan. Sial! Lalu siapa mereka dan mau apa mereka!?
“Kemana larinya dia?”
“Mungkin
kesana?” terdengar percakapan orang itu. Ingin mengintip ke balik dinding ini
tapi aku takut.
“Bodoh! Ini akibatnya kalau terlalu
banyak makan! Mengejar semut saja kalian tidak bisa!”
Semut!? Aku dikatai semut!?? Awas
kau nanti!
“Berpencar!”
Aah, jadi mereka berpencar? Kenapa
mereka amat bernafsu mengejarku? Pening dibuatnya. Kakiku sudah mulai gemetar,
dan gigi mulai gemelutuk. Haus dan gerah. Tapi aku berada di tepi jurang
kematian. Salah sedikit saja bisa ketahuan posisiku. Itu sama saja mengumpankan
diri!
“Naaah! Ini diaaa!! Disini
heeeeiiii!!!”
Sial! Aku ketahuan! Ku coba berkelit
lari lagi tapi sebatang lengan Samson merenggut leherku.
“Aku mendapatkannya! Sebelah
siniii!!”
“Siapa
kalian!? Mau apaa!!?? Kalian salah tangkaaap!!!”
“Pegangi,
pegangi!” kakiku di genggam.
“Sikat,
sikatt!”
Salah
seorang dari mereka mengeluarkan kain krem dari balik jaket jeans denim dan
membekap wajahku.
“Toloooong!!
Toloooooong!!!”
Sekejap
kemudian, tubuhku terasa ringan dan kurasakan bahagia, tiada perkara. Hingga
semua gelap dan tak ada apa apa lagi.
* * *
Pesawat Mayan Airline terombang ambing
di samudra langit. Segala penjuru berselimut kelam, tak ada yang bisa melihat
dengan mata telanjang. Tiada suara kecuali gaung mesin pesawat layaknya
hembusan Exhaust Fan. Ketinggian pesawat mencapai 32000 kaki, tekanan udara
yang cukup rendah. Pesawat hanya bisa terlihat dari darat karena lampu yang
berkelap kelip di bagian luar pesawat, tepat di ujung sayap pesawat. Boeing
777-300 ER, terbang menembus kegelapan bermodalkan instrument visual di ruang
kokpit.
Martinus dan Evan, dua penggawa
terdepan penerbangan malam itu, rela bersesak sesak dalam ruang kokpit yang
sempit. Di depan mereka terpampang pemandangan terbang malam yang tak tampak
apapun, hanya hitam, hitam, dan hitam. Nyawa seluruh awak dan penumpang
bergantung pada mereka, hidup dan matinya. Lengah sedikit saja, akibatnya bisa
fatal. Tersungkur, terhujam, terguling, dan entah apalagi sebutannya. Tak ada
bahasa main main lagi.
Berbagai tragedi pesawat pernah
terjadi: menabrak gunung, masuk lautan, mendarat diatas lahan kuburan, menabrak
gedung pencakar langit, menabrak rumah rumah, tertembak misil di langit daerah
konflik, hilang pesawat serta awak penumpang, bahkan bertumbukan dengan sesame
pesawat. Penyebabnya pun bermacam macam: kebijakan prosedur penerbangan yang
salah atau tak dipatuhi, sarana prasarana yang buruk, faktor lingkungan dan
cuaca, dan yang paling klasik: faktor human
error.
Martinus meregangkan otot otot
tubuhnya, menarik badan sedikit keatas. Ia telah sadar kembali. Evan
disebelahnya merapikan kotak kecil P3K, bangkit dari kursi dan meletakkan
kembali peralatan medis ke area belakang kokpit. Nun dihadapan mereka tiada apa
pun. Hanya hitam, hitam, dan hitam sejauh mata memandang. Sesekali tampak
bintang amat sangat kecil, berjuta juta kilometer jahnya. Martinus menarik nafas
panjang, mengeluarkan sebuah dompet kecil Llama coklat muda dari saku
celananya.
Didalamnya terselip sebuah foto
berukuran 3x4 hitam putih yang sudah agak pudar disantap waktu. Ada tiga orang
dalam foto. Martinus tertegun menatap orang dalam foto itu, seorang perempuan
muda umur dua puluhan, berpakaian motif bunga mawar berenda, panjang hingga
melewati lutut. Sorot matanya menampakkan keteguhan jiwa dan kesucian hati
tiada lawan. Senyumnya mengembang dapat merontokkan hati pohon Beringin lelaki
manapun. Mengalihkan guratan penderitaan hidup di pipinya, yang apabila tampak
oleh siapa pun akan tersihir pikirannya.
Tangan kirinya menggendong anak
lelaki usia balita. Lucu parasnya, menjambul rambutnya, dan begitu gembul
pipinya. Semakin bertambah gembul sebab anak lelaki balita itu difoto sambil
menyedot empeng, suatu alat dari
karet pengganti dot botol susu. Tatap matanya seperti tidak perduli akan halnya
foto, atau apapun yang terjadi disekitarnya. Yang ia tahu hanya meracau,
menangis bila lapar, berlarian kesana kemari, atau jika belum bisa berlari atau
berjaln, merangkak. Mengacaukan apa yang sedang dikerjakan orang disekitarnya.
Abangnya, atau ayah ibunya. Maka dalam foto, wajahnya terlihat acuh tak acuh
namun tetap menggemaskan!
Nah, disebelah kanan perempuan muda
itu, berdirilah dengan tegap dan kokoh laksana karang samudera yang tak hendak
terhempas. Kedua tangannya mengepal keras, penuh tenaga. Pakaian yang
dipakainya adalah pakaian pilihannya yang terbaik. Kemeja lengan panjang putih
berkancing, dasi kupu kupu hitam, disenadakan dengan celana panjang warna hitam
dan ikat pinggang yang juga berwarna hitam. Tingginya baru seperut perempuan
itu. Tapi yang sangat tak bisa dihiraukan, adalah sorot matanya yang tajam,
seperti ada naga yang terbang melayang layang meliuk, memasuki benteng
keraguan, meruntuhkan setiap pilar keputus asaan, mengguncang dan membelah
gunung rasa takut, serta membakar daratan setiap kesombongan dan ketamakan. Ia
tersenyum, namun senyumnya mengumpulkan suatu energy gigitan pemutus tali yang dipakai untuk
menambatkan kapal di dermaga, terpasang dibalik giginya. Ia seperti terlahir
untuk bertarung melawan perompak tujuh lautan.
*
* *
Evan kembali ke posisinya,
menyadarkan lamunan teatrikal Martinus pada foto masa kecilnya. Itu adalah foto
anak beranak: Martinus kecil, ibu dan adiknya. Kemana pergi, foto itu selalu
dibawanya. Tak pernah alpa. Martinus kembali menyimpannya.
“Rindu pada keluarga kah?” Evan
menyelidik. Tampaknya tadi ia mengintip.
“Aah
tidaak. Hanya membetulkan posisi fotonya saja, agar tidak tertekuk,” Martinus
mengelak.
“Aku
juga kadang rindu pada keluargaku. Ayahku, ibuku, kakak dan adikku, banyak,”
Desau suara mesin menemani kisah
Evan.
“Aku selalu menyempatkan menelepon
mereka saat tiba di penginapan. Walau kadang juga tidak selalu. Aku sudah
keburu terkapar di ranjang,”
“Hmm,
menarik sekali. Istrimu bagaimana?”
“Istriku
yang lebih sering meneleponku. Aku selalu mengirim jadwal terbangku padanya,
agar dia tahu kapan waktu ia bisa untuk meneleponku. Teleponlah keluargamu
nanti,” Evan tersenyum. Martinus hanya membalas nya dengan tatapan bermakna, terima kasih. Kau memang partner yang baik.
Mereka berdua kembali berkonsentrasi
pada penerbangan. Ratusan nyawa bergantung pada leher mereka. Suasana malamm
itu cukup tenang, hanya bunyi mesin, bunyi instrument pesawat, dan mereka
berdua yang sesekali menguap. Mereka tak tahu sedang diintai.
NIITT!
NIIITT!! NIIITTTTT!!!
“Gangguan pada mesin empat!” Evan
terbelalak.
“Periksa!”
Martinus mengkomandoi.
Setangkas
mungkin Evan memijit tombol tombol pada instrument, mengecek apa yang
sebenarnya terjadi. Belum pernah terjadi seperti ini, dalam penerbangan yang
melibatkan Evan, terjadi gangguan pada mesin.
“Suplai bahan bakar menuju mesin
empat terganggu. Sepertinya kita akan kehilangan mesin empat!”
Martinus dengan pengalaman
terbangnya, tetap tenang dan berusaha mengendalikan keadaan.
“Sebentar, aku sedang memeriksa
system yang lain,” kini Martinus sibuk bersilat dengan tombol tombol,”
“Usahakan pertahankan kecepatan.
Kita masih bisa terbang dengan mesin yang tersisa,”
“Tapi
bahan bakar akan lebih cepat habis. Kita harus menghitung ulang jarak tempuh
dan jumlah bahan bakar yang tersisa,”
“Baik.
Kau hitung, aku berusaha membuat laporan,”
“Siap!,”
Dalam beberapa waktu ke depan,
mereka berdua telah bertambah sibuk. Awak kabin yang menyadari terus
mengkonfirmasi ruang kokpit.
“Lapor kepada menara pengawas… Lapor
kepaad menara pengawas… Pesawat Boeing 777-300 ER penerbangan menuju Sin Chuan
mengalami gangguan di salah satu mesin. Ketinggian saat ini 31.500 kaki, arah
angin Barat Daya,”
“Martinus, kita kehilangan mesin
empat! Matikan Auto-Pilot?”
“Tahan
dulu! Kita lihat sebentar lagi,”
Evan terlihat panic dan ia mengacak
acak rambutnya, lalu merapikannya kembali. Awak kabin datang.
“Apa penumpang harus diberitahu
sekarang?”
“Ya,
beritahu dengan setenang mungkin. Jangan buat mereka ketakutan,”
“Baik!”
Awak kabin langsung menyongsong kabin.
Terdengar pemberitahuan yang disuarakan
nyaring sekali, dengan pilihan nada yang tepat. Tapi bagi Evan dan Martinus
yang berada di belakang kemudi, itu suara yang sangat menakutkan tak ubahnya
suara serigala melolong dekat wilayah perkemahan.
“Baiklah Evan, kita matikan Auto
\-Pilot dan tangani kekacauan ini,”
“Ah,
iya.. Baik,” Evan tampak pucat. Kini wajahnya sudah serupa warna dengan seragam
putih pilot-nya. Martinus menepuk nepuk bahu Evan.
“Tenang.. Tetaplah tenang. Kita akan
selamat. Tak akan terjadi suatu apa,”. Martinus tersenyum penuh keyakinan
sambil meyakin yakinkan diri pula.
“Ba..
Baik, Capt!”
* * *